E. Bunuh Diri dan Euthanasia
Pemikiran Dasar
Perkembangan dunia
yang semakin maju, peradaban manusia tampil gemilang sebagai refleksi dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum
kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat yang bersangkutan. Di dalam masyarakat modern seperti di Barat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat
menempati kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu,
suatu produk hukum yang baru dibuat. Dari sini dapat digambarkan bahwa apabila
terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interpretasi terhadap hukum pun
bisa berubah. Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh beberapa
kalangan. Mengenai pembahasan euthanasia ini masih terus di perdebatkan,
terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati
itu hak siapa, dan dari sudut mana ia dilihat.
Dalam Kitab Suci (Alkitab), dijelaskan bahwa manusia hidup karena
diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan
Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia (yakni hidup
biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa, karena
sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup (biologis) adalah ‘masa hidup’, dan
tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ (lih. Mrk 8: 37).
Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi masa hidupnya dan
bersyukur kepada Tuhan bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya
kehidupan’ (lih. Mzm.56: 14). Memang, ‘masa hidup kita
hanya tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90: 10) dan ‘di sini kita tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14: 14).
Namun, hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa datang.
Hidup fana menunjuk pada hidup dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup
yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan
kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup sekarang ini sangat
berharga dan suci.
Menurut ajaran
Gereja Katolik, tindakan euthanasia tidak dapat dibenarkan. Tidak seorang pun
diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya sendiri, entah
untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. (Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi Mengenai Euthanasia, 5 Mei, 1980). Penderitaan harus diringankan bukan
dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan oleh seorang teman.
Demi salib Kristus dan demi kebangkitan-Nya, Gereja mengakui adanya makna dalam
penderitaan, sebab Allah tidak meninggalkan orang yang menderita. Dengan
memikul penderitaan dan solidaritas, kita ikut menebus penderitaan. Melalui
pelajaran ini, para peserta didik dibimbing untuk memahami makna bunuh diri dan
euthanasia sehingga dapat bersikap secara tepat sebagai orang Katolik dalam
menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan bunuh diri dan euthanasia.
Alasan atau
Sebab-Sebab Bunuh Diri
Ada banyak alasan
yang menyebabkan orang melakukan tindakan bunuh diri. Di
sini hanya akan disebut dua alasan
besar, yaitu:
a. Orang mengalami
depresi, tekanan batin
Perasaan tertekan,
frustrasi, dan bingung dapat disebabkan oleh:
- putus cinta,
pasangan menyeleweng, kurang diperhatikan dan dihargai dalam keluarga, dan
sebagainya.
-beban ekonomi
yang tidak tertanggungkan, kehilangan pekerjaan, dililit utang, dan sebagainya
- merasa hidup tak
lagi bermakna, dan sebagainya.
b. Orang mau
mengungkapkan protes.
Mungkin saja terjadi
kasus-kasus ketidakadilan, kemudian untuk memprotesnya
orang melakukan aksi mogok makan sampai
tewas, membakar diri, menembak diri, dan sebagainya.
1. Arti Euthanasia
- Kata euthanasia
berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘kematian yang baik (mudah). Kematian
dilakukan untuk membebaskan seseorang dari penderitaan
yang amat berat. Masalah ini
menimbulkan masalah moral seperti bunuh diri.
Namun, euthanasia melibatkan orang
lain, baik yang melakukan penghilangan nyawa maupun yang menyediakan sarana
kematian (umumnya obat-obatan).
- Euthanasia
merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan
zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara
lainnya. Tindakan ini muncul akibat
terjadinya penderitaan yang berkepanjangan
dari pasien. Di beberapa negara Eropa
dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan
legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan
mati seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.
- Kode Etik
Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman
tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang
sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya.
2. Jenis-Jenis
Euthanasia
a. Dilihat dari
segi pelakunya
- Compulsary euthanasia, yakni bila orang lain memutuskan kapan
hidup seseorang akan berakhir. Orang tersebut mungkin kerabat, dokter, atau
bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang euthanasia jenis ini disebut mercy killing (penghilangan nyawa penuh belas kasih). Misalnya: dilakukan pada orang yang menderita
sakit mengerikan, seperti anak-anak yang cacat parah.
- Voluntary euthanasia, berarti orang itu
sendiri minta untuk mati. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang
sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan
dan menyebabkan penderitaan yang berat
hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani dokumen legal
sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu orang atau lebih yang tidak
mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian
dokter menyediakan obat yang dapat
mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat euthanasia
sukarela.
b. Dilihat dari
segi caranya
- Euthanasia aktif: Mempercepat kematian seseorang secara aktif dan
terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau
euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Dengan kata lain, euthanasia
ini menggunakan cara langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih
pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri. Ada juga menggunakan cara sukarela
tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan
untuk hidup kecil sekali sehingga
pasien ini berusaha agar ada orang lain yang
dapat mengakhiri penderitaan dan
hidupnya. Ada juga dengan cara langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang
lahir cacat.
- Euthanasia pasif: Pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai, atau
diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa pun
tidak berguna lagi. Cara ini termasuk tidak langsung dan tidak sukarela:
merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
3. Bagaimana
Pandangan Negara Indonesia tentang Euthanasia?
- Euthanasia tidak
diperbolehkan mempercepet kematian secara aktif dan terencana, juga jika secara
medis ia tidak lagi dapat disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas
permintaan pasien sendiri (bdk. KUHP pasal 344). Seperti halnya dengan
pengguguran, di sini ada pertimbangan moral yang jelas, juga dalam proses kematian,
manusia pun harus dihormati martabatnya. Semua sependapat,
bahwa tidak seorang pun berhak
mengakhiri hidup orang lain, walaupun dengan
rasa iba.
Mendalami Pandangan Gereja tentang Bunuh Diri dan Euthanasia
1. Kitab Suci
- Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah.
Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci. Kitab Suci menyatakan bahwa
nyawa manusia (yakni hidup biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai
yang istimewa karena sifatnya yang pribadi. Bagi manusia, hidup (biologis) adalah
‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ (lih. Mrk 8: 37).
Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih,
orang mengisi masa hidupnya, dan
bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya
kehidupan’ (lih. Mzm. 56: 14). Memang, ‘masa hidup kita
hanya tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90: 10) dan ‘di sini kita tidak mempunyai
tempat tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14: 14). Namun, hidup fana merupakan titik
pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.
- Hidup fana menunjuk pada hidup dalam
perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan
pribadi
memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat
masa hidup sekarang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangat berharga.
Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya
dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup
manusia.
1. Katekismus Gereja Katolik.
Tentang “bunuh diri”
secara khusus dibahas dalam bahasan Kehidupan dalam Kristus,
seksi dua tentang
Sepuluh Perintah Allah yang kelima.
- 2280“Tiap orang bertanggung
jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup
kepadanya. Allah ada dan tetap
merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita
berkewajiban untuk berterima kasih
karena itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi
keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus,
bukan pemilik kehidupan, dan Allah
mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya”. Gereja katolik
tidak merestui bunuh diri. Alasan pertama yang sangat masuk akal adalah alasan
adikodrati, dalam kaitannya manusia dengan penciptanya. Hidup yang mengalir di diri
kita ini bukanlah milik kita sendiri, tetapi hanya titipan dari Tuhan sang pencipta dan
pemilik sejati. Oleh karenanya manusia, saya dan kamu, tidak berhak membunuh
atau bunuh diri. Bunuh diri sama beratnya dengan membunuh
orang lain.
- 2281“Bunuh diri
bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya
memelihara dan mempertahankan
kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh
diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas
dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu
mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada
Allah yang hidup” Alasan kedua bersifat: kodrati, alamiah, dan sosial. Bunuh diri melawan
dorongan kodrat “mempertahankan hidup” dan melanggar hukum cinta kepada diri sendiri dan sesama.
Dorongan naluriah setiap orang adalah agar terus hidup (dorongan ini asli, terbawa
sejak lahir, ada pada setiap pribadi, ditanam oleh Tuhan sendiri). Orang normal akan sekuat
tenaga mempertahankan hidup. Sakit diobati, kalau ada bahaya menghindar atau
membela diri. Maka bunuh diri jelas-jelas mengabaikan keinginan itu. Secara
sosial, juga sangat jelas. Bunuh diri mempunyai akibat lanjutan yang tidak baik bagi
orang-orang lain di sekitarnya terutama keluarga. Ingatlah, keluarga selain berduka juga akan
menanggung malu.
- 2282 “Kalau
bunuh diri dilakukan dengan tujuan untuk memakainya sebagai contoh -terutama
bagi orang-orang muda- maka itu pun merupakan satu skandal
yang besar. Bantuan secara sukarela
dalam hal bunuh diri, melawan hukum moral. Gangguan psikis yang berat,
ketakutan besar atau kekhawatiran akan
suatu musibah,
akan suatu kesusahan atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab
pelaku bunuh diri”. Bunuh diri dengan alasan yang sangat mulia sekalipun tidak dibenarkan. Di
sini berlaku prinsip moral “tujuan tidak dapat menghalalkan cara”. Sebaik apapun
tujuan hidup manusia tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk mencapainya.
Prinsip ini juga berlaku terhadap hidup manusia lain. Kita tidak boleh
mempermainkan hidup orang lain untuk tujuan kita semulia apapun. Kemudian ditegaskan
juga, yang membantu orang untuk bunuh diri juga ikut bersalah. Hal yang dapat dianggap meringankan “dosa”
bunuh diri hanyalah beberapa kondisi nyata seperti: gangguan psikis berat,
ketakutan atau kekhawatiran besar, kesusahan atau penganiayaan serius.
- 2283 “Orang
tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri
kehidupannya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih
dapat memberi kesempatan kepada mereka
untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja berdoa bagi mereka yang telah
mengakhiri kehidupannya”. Walaupun demikian, kita tetap diajak mengimani 100% pada kerahiman Tuhan. Kita didorong
untuk meyakini bahwa “rahmat-Nya tetap bekerja” sampai detik terakhir hidup
semua orang. Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan pasti mendorong orang yang bunuh
diri untuk bertobat, sampai detik dimana dia sudah tidak bisa kembali lagi.
Tuhan yang maharahim pasti akan menyelamatkan orang yang
bertobat itu.
- Kongregasi untuk Ajaran Iman; dalam , Deklarasi Mengenai
Euthanasia, 5 Mei, 1980). Pendapat
Gereja Katolik mengenai euthanasia aktif sangat jelas, bahwa tidak seorang pun
diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk
dirinya sendiri, entah untuk orang lain
yang dipercayakan kepadanya. Penderitaan harus diringankan bukan dengan
pembunuhan, melainkan dengan pendampingan
oleh seorang
teman. Demi salib Kristus dan demi kebangkitan-Nya, Gereja
mengakui adanya makna dalam
penderitaan, sebab Allah tidak meninggalkan
orang yang menderita. Dan dengan
memikul penderitaan dan solidaritas, kita ikut
menebus penderitaan.
- Ensiklik Evengelium Vitaeoleh Yohanes Paulus II
pada tanggal 25 Maret 1995.
Secara khusus,
ensiklik ini membahas euthanasia pada artikel no 64-67. Paus Yohanes Paulus II,
yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek euthanasia, memperingatkan
kita untuk melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari ‘budaya kematian’
…. Jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat
dianggap sebagai beban yang
mengganggu”. Euthanasia yang “mengendalikan
maut dan
mendatangkannya sebelum waktunya, dengan secara “halus” mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain
….. nampak tidak masuk akal dan
melawanperikemanusiaan“. Euthanasia
merupakan “pelanggaran berat
terhadap hukum Allah, karena itu berarti
pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut
moral tidak dapat diterima”. Sebagai
pendasaran, teks tersebut menunjuk pada hukum kodrati, Sabda Allah, tradisi dan ajaran umum Gereja Katolik.
Kesimpulan
manusia adalah
wewenang Allah. Tidak ada hak siapapun juga untuk mengakhiri hidup seseorang.
Hidup manusia ada di tangan Allah dan Allahlah yang berkuasa untuk membuat
hidup dan mengakhirinya dengan kematian. Karena itu para medis tidak diperbolehkan
melakukan tindakan eutanasia karena hal itu kontra hukum
Allah. Hidup manusia tidak dapat
diganggu pada tahap dan dalam situasi apapun
juga. Setiap suara hati mesti diarahkan
untuk menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia. Semoga budaya kehidupan terpatri
dalam diri setiap orang dan senantiasa menentang budaya kematian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak tanpa keluar dari konteks pembahasan...