Potret Perjuangan Guru SMAK St. Fransisiskus Ruteng Selama Masa Pandemi Covid-19
Ini cerita dari pelosok, cerita
dari Timur, tepatnya dari Flores-NTT. Cerita dari daerah yang konon terkenal
dengan kemiskinan, keterbelakangan dan keterbatasan. Barangkali kepedulian akan
fakta ini membuat pemerintah di masa lalu mencanangkan program guru Sarjana
Mendidik untuk daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Meskipun memang
tidak menyelesaikan persolan kesenjangan pendidikan. Tetapi sekurang-kurangnya
pemerintah pusat memiliki komitmen untuk memperjuangkan permerataan pendidikan
di negeri ini.
Narasi ini tentu saja tidak bermaksud menyanggah atau membela diri dari label yang diberikan orang terhadap daerah ini. Apalagi mau membandingkannya dengan daerah lain. Itu nanti akan menjadi salah kaprah. Lagian NTT itu tidak timur-timur amat. NTT menurut pembagian waktu berada di Indonesia bagian tengah. Narasi ini adalah tentang perjuangan guru. narasi dari para pendidik dan perjuangannya beradaptasi dengan proses pembelajaran jarak jauh atau daring selama masa pandemi Covid-19. Ini adalah kisah bagaimana guru-guru di di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng mengimplemantasikan konsep merdeka belajar dalam kegiatan pembelajaran jarak jauh masa pandemi ini.
.
Kisah ini berawal dari kebijakan belajar dari rumah yang diumumkan pemerintah pada bulan Maret tahun 2020. Sejak saat itu wajah sekolah SMAK St. Fransiskus Ruteng sudah berubah, tidak lagi sama seperti tahun-tahun sebelumnya dan barangkali tidak akan pernah lagi seperti itu. Ya, hidup memang begitu. Perubahan adalah roh kehidupan. Seperti kata Heraklitos (seorang Filsuf asal Yunani), “segala sesuatu itu berubah, kecuali perubahan itu sendiri”. Perubahan adalah suatu yang tetap. Manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perubahan itu. Pertanyaannya adalah apakah perubahan itu untuk kebaikan atau sebaliknya untuk keburukan?
Saya boleh katakan dengan yakin apa yang terjadi pada SMAK St. Fransiskus Saverius selama penerapan kebijakan belajar dari rumah ini adalah suatu perubahan menuju kebaikan, baik bagi peserta didik maupun bagi guru-guru. Saya fokus pada perubahan menuju kebaikan untuk guru-guru karena di sana sini nanti masih menyinggung tentang dampaknya bagi peserta didik. Justru ketika perubahan terjadi lebih dahulu pada guru-guru, kita boleh menyaksikan hasilnya secara nyata pada peningkatan prestasi belajar peserta didik.
Guru-guru di sekolah ini adalah kombinasi yang seimbang antara guru senior dan guru muda. Guru-guru senior dalam arti usia sudah tidak muda lagi ataupun soal periode waktu mengajar yang sudah lama. Begitu juga sebaliknya, muda dari segi usia juga dalam arti pengalaman mengajar yang belum lama. Tetapi waktu tetaplah relatif. relatif bukan dalam arti nisbi dalam pengertian filosofis. Artinya di sini bahwa lamanya waktu bagi seseorang menggeluti sebuah profesi dalam hal ini sebagai seorang guru tidak melulu berarti menjadi semakin bijaksana atau sebaliknya yang muda selalu diidentikan dengan masih labil atau kurang memiliki kecakapan.
Yang istimewa dari guru-guru di sini adalah keterbukaan untuk selalu belajar. Entah tua atau muda selalu membuka diri untuk belajar sesuatu yang baru. Guru-guru yang masuk kategori generasi milenial tidak merasa cukup diri karena merasa lebih memahami perkembangan dan pemanfaatan media, informasi dan teknologi daripada guru-guru generasi X sebelumnya. Sebaliknya yang sudah lama mengajar atau guru-guru senior yang masuk kategori generasi X tidak merasa diri sudah cukup tua untuk belajar menggunakan perangkat teknologi dalam pembelajaran.
Sikap yang positif ini membawa pengaruh yang baik bagi penerapan kebijakan merdeka belajar di sekolah ini selama pandemi Covid-19. Sikap positif itu tampak pada bagaimana penerapan konsep merdeka belajar melalui penyusunan RPP satu halaman, pelaksanaan USBN tahun 2021 untuk angkatan 2020/2021, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter untuk siswa, guru-guru dan tenaga kependidikan tahun ajaran 2021/2022. Untuk episode kali ini, saya fokus pada tiga poin ini, meskipun saya sadar berbicara tentang merdeka belajar memiliki dimensi yang luas.
Pertama, penyusunan RPP satu halaman. Untuk pertama kalinya selama menjadi Guru, saya merasakan begitu senang mengikuti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Barangkali, kesan ini juga mewakili sebagian besar guru selama mengikuti kegiatan ini. Suasasana MGMP kali ini sangat dinamis dan tidak membosankan. Reaksi pertama guru-guru ketika mengami ini adalah, “ini boleh juga!”. Reaksi ini bisa diterjemahkan bahwa guru-guru menerima perubahan yang terjadi dengan senang hati. Selama ini memang para guru merasa terbebani dengan membuat RPP sampai puluhan halaman. Waktu mempersiapkan materi menjadi tersita karena sebagian besar waktu dipakai untuk mengerjakan RPP. Suasana MGMP mendadak berubah. Tidak lagi seperti dulu, lama dan sarat dengan detail-detail yang sangat teknis sifatnya.
Satu halaman tentu bukan berarti sekadarnya saja. Bagi guru-guru di sini satu halaman justru merupakan tanggung jawab besar. Apalagi pertama kali dibuat di masa pandemi Covid-19. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan dinamika pembelajaran jarak jauh ke dalam RPP satu halaman ini. Di sinilah sikap merdeka belajar ditantang. Bagi guru-guru di sini merdeka belajar justru semakin besarnya tanggung jawab untuk semakin kreatif karena beban administratif penyusunan RPP sudah tidak lagi menjadi masalah.
Kedua, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Kebijakan ini tidak kalah fenomenalnya dengan RPP satu halaman. Bagaimana mungkin soal-soal USBN disusun oleh sekolah masing-masing dan masih disebut berstandar nasional? Bukankah USBN jadinya contradictio in terminis? Para guru di sini memang tidak menghabiskan waktu untuk berdebat soal ketepatan istilah ini. Mereka lebih sibuk menyiapkan soa-soal penugasan, portofolio dan karya tulis untuk peserta didik.
Bentuk penilaian seperti ini memberikan ruang kebebasan bagi guru untuk menguji kompetensi murid-muridnya secara lebih komprehensif. Kontras dengan apa yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya hanya menggunakan satu model penilaian, yaitu pilihan ganda. Tentu kalau mau jujur, bagaimana mungkin satu model penilaian mewakili standar kompetensi kelulusan untuk kategori sikap, keterampilan dan pengetahuan?
Para guru bisa bernafas lega bahwasannya sekarang bisa menilai siswa secara lebih komprehensif. Kalau dulu hanya dengan pilihan ganda, sekarang bisa lebih variatif, seperti melalui penugasan, portofolio, hasil kerja kelompok, dan karya tulis. Penilaian lebih variatif tentu juga berarti bahwa beban untuk memeriksa tugas siswa ada pada guru. Di sini pandemi Covid-19 ibarat blessings in disguise bagi para guru. Peraturan protokol kesehatan selama pandemi tidak memperbolehkan siswa mengumpulkan tugas fisik seperti kertas tugas, catatan dan sebagainya. Jadi, hal ini sedikit meringankan beban pemeriksaan tugas secara manual sekaligus mencegah penumpukan tugas di meja guru. Sekarang pemeriksaan tugas dan karya tulis dibuat dalam aplikasi pembelajaran jarak jauh dalam platform Google.
Ketiga, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter . AKM adalah kebijakan baru masa kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai ganti Ujian Nasional (UN) yang dinilai tidak cocok untuk menjadi barometer pemetaan mutu Pendidikan Nasional. Selain itu UN hanya menguji kompetensi pengetahuan siswa dan sangat berorientasi pada penguasaan konten bukan pada penalaran atau proses berpikir Kritis. Di pihak lain munculnya konsep AKM dan Survei Karakter sebagai upaya untuk memetakan mutu Pendidikan Nasional secara lebih komprehensif dan mengikuti praktik yang berlaku pada level internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Lembaga pendidikan SMAK St. Fransiskus Ruteng langsung merespon kebijakan ini melalui pembentukan Kelompok Literasi Sekolah “Lodok Gejur de Saverian”. Kelompok ini diberi tugas oleh kepala sekolah untuk mengorganisir kelancaran acara peluncuran perpustakaan digital pada bulan Maret 2021 yang diresmikan oleh Bupati Manggarai, Hery Nabit. Kehadiran perpustakaan digital ini telah sangat membantu kelancaran kegiatan literasi sekolah secara khusus untuk mempersiapkan peserta didik mengerjakan soal-soal AKM dan survei karakter. Dengan peluncuran perpustakaan digital ini peserta didik memiliki akses terhadap buku-buku yang mereka butuhkan baik untuk belajar mandiri maupun untuk kegiatan pembelajaran di sekolah.
Selain mengorganisir acara peluncuran perpustakaan digital, Kelompok Literasi juga diberi tugas untuk merancang kegiatan bimbingan kepada peserta didik untuk persiapan AKM sekolah. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas ini, para pengurus Kelompok Literasi sekolah membuat jadwal bimbingan pembahasan soal-soal AKM dan Survei Karakter yang dilakukan secara daring melalui Google Meet.
Para guru kelompok literasi dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok literasi membaca, numerasi dan survei karakter. Setiap guru memiliki kelas bimbingannya masing-masing. Para guru diberi tugas untuk menyusun soal-soal AKM dan Survei Karakter sesuai kategori bidang yang sudah dibagikan. Soal-soal tersebut nantinya dikerjakan peserta didik dan di bagian akhir setelah pengerjaan soal ada pembahasan soal.
Banyak hal yang dipelajari oleh guru-guru dari kegiatan kelompok literasi ini. pertama, kolaborasi atau kerja sama yang solid antar guru-guru. Ini tampak pada kegiatan penyusunan soal dan komunikasi jadwal pelaksanaannya sehingga tidak terjadi tumpang tindih ataupun tabrakan jadwal. Kedua, melalui kegiatan ini para guru dipaksa untuk berpikir keras dan kreatif agar bisa menyusun soal yang sesuai dengan atau sekurang-kurangnya mendekati soal-soal AKM dan Survei Karakter yang dirancang oleh tim penyusun soal Kemendikbud. Ketiga, peningkatan kecakapan guru-guru dalam pemanfaatan media, informasi, dan teknologi dalam pembelajaran. Keempat, ini sebenarnya adalah momen on going formation bagi guru-guru. Guru-guru lewat kegiatan seperti ini terus belajar dan mengasah kemampuannya sehingga semakin cakap dan profesional.
Bagi kami konsep merdeka belajar adalah bertambahnya tanggung jawab dalam menjalankan profesi sebagai guru. Merdeka untuk selalu belajar dan mengembangkan diri dalam berbagai situasi sulit. Meskipun tidak lagi dibebani urusan administratif untuk menyusun RPP berpuluh-puluh halaman atau mempersiapkan siswa untuk mengejar target pencapaian nilai UN, bagi kami konsep merdeka belajar justru sebuah didorongan untuk semakin kreatif dan profesional dalam mengembankan tugas sebagai guru. Ini bagi kami adalah panggilan untuk bertanggung jawab dan terus bergerak dengan hati memulihkan pendidikan yang sempat mengalami keterpurukan selama masa pandemi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak tanpa keluar dari konteks pembahasan...