C. Budaya Kekerasan dan Konflik di Tanah Air
1) Pengertian budaya kekerasan.
Kekerasan budaya yakni nilai-nilai budaya yang digunakan untuk membenarkan dan mengesahkan penggunaan kekerasan langsung atau tidak langsung. Wujud dari kekerasan cultural adalah, pidato para pemimpin, dalil-dalil dalam agama, dan beragam poster yang membangkitkan dorongan untuk menjalankan kekerasan sehingga kekerasan ini menjadi sah secara budaya dan mendapatkan legitimasi.
Kekerasan dan konflik memiliki hubungan yang sangat erat karena kekerasan adalah merupakan aktualisasi daripada konflik, dan konflik itu sendiri enempatkan dirinya berada pada alam bawah sadar atau di otak kita. Jadi kekerasan itu berangkat terlebih dahulu dari konflik yang tersimpan dalam memori kita kemudian berujung pada terjadinya benturan fisik atau psikis. Masyarakat Indonesia sangat majemuk secara budaya, etnis dan agama. Kemajemukan ini apabila tidak dikelola dengan baik dan benar maka dapat menimbulkan konflik dan kekerasan. Kekerasan yang sering terjadi di negeri kita menunjukkan rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah.
2) Rupa-rupa dimensi kekerasan
a. Kekerasan langsung. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok aktor kepada pihak lain dengan menggunakan alat kekerasan, dan seringkali lebih bersifat fisik dan secara langsung, jelas siapa subjek siapa objek, siapa korban dan siapa pelakunya. Seperti contoh pembunuhan, pemotongan anggota tubuh dan lain sebagainya. Jadi identifikasi paling mendasar tentang kekerasan langsung adalah dengan adanya korban luka maupun meninggal.
b. Kekerasan tidak langsung. Kekerasan tidak langsung adalah kebalikan dari kekerasan langsung, dimana lebih bersifat psikis, seperti contoh kasus gizi buruk, itu bukan akibat ulah kekerasan yang dilakukan secara langsung tetapi lebih kepada akibat tatanan sistem politik, social budaya dan juga ekonomi yang tidak adil atau tidak seimbang dalam menjalankan perannya, karena alasan ini sehingga menyebabkan kekerasan menjadi terbuka, atau
contoh lain seperti pembalasan dendam, pengasingan, blokade, diskriminasi.
3) Wajah-wajah kekerasan
Dimensi kekerasan di atas ini dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk kekerasan yang akhir-akhir ini hadir dalam skala frekuensi yang makin meningkat di Indonesia.
a. Kekerasan Sosial. Kekerasan sosial adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan “Pembangunan Negara”. Payung pembangunan seperti sebuah tujuan yang boleh menghalalkan segala cara. Ada sekelompok orang atau wilayah tertentu yang sepertinya tanpa henti mengusung “stigma” dari penguasa. Stigmatisasi yang biasanya berlanjut dengan “marginalisasi” dan berujung pada “viktimasi”. Mereka yang mengusung “stigma” tertentu sepertinya
layak ditertibkan, dibunuh, atau diperlakukan tidak manusiawi.
b. Kekerasan Kultural.
Kekerasan kultural terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa. Kekerasan kultural sangat mengandaikan “stereotyp” dan “prasangka-prasangka kultural”. Dalam konteks ini, keseragaman dipaksakan, perbedaan harus dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang menjadi milik kebudayaan daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah proses yang demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.
c. Kekerasan Etnis.
Kekerasan etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan menjadi bahaya atau ancaman bagi kelompok tertentu. Suku tertentu dianggap tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan berbagai alasan. Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat diam yang sudah menjadi miliknya bertahun-tahun dan turun-temurun.
d. Kekerasan Keagamaan. Kekerasan keagamaan terjadi ketika ada “fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusivisme” yang melihat agama lain sebagai musuh. Kekerasan atas nama agama ini umumnya dipicu oleh pandangan agama yang sempit atau absolut. Menganiaya atau membunuh penganut agama lain dianggap sebagai sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama agama sering berpijak pada genderang perang: “Allah harus dibela oleh manusia.”
e. Kekerasan Gender. Kekerasan gender adalah situasi di mana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan perempuan. Kultur pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan dilakukan secara terpola dan sistematis.
f. Kekerasan Politik. Kekerasan politik adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”. Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didiktekan oleh penguasa. Ada ekonomi, manajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah panglima, maka paradigma politik harus diamankan lewat pendekatan keamanan. Semua yang berbicara vokal dan kritis harus dibungkam dengan segala cara termasuk dengan cara isolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau ada partai itu tidak lebih hanya sebagai boneka. Dalam konteks ini, “single majority” adalah sesuatu yang sangat ideal,
indoktrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan, sistem monopartai adalah
kehendak Tuhan.
g. Kekerasan Militer. Kekerasan militer berdampingan dengan kekerasan politik. Kekerasan terjadi karena ada militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara pandang dan tata nilai militer merasuk sistem sosial masyarakat. Dalam jenis kekerasan ini terjadi banyak sekali hal-hal seperti: pembredelan pers, larangan berkumpul, dan litsus sistematis. Pendekatan keamanan (security approach) sering diterapkan.
h. Kekerasan Terhadap Anak-Anak. Anak-anak di bawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat rendah sebagai pekerja murah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya, masih merajlela ideologi-ideologi pendidikan yang fanatik. Konservatisme pendidikan dan fundamentalisme pendidikan tidak dicermati dan tidak dihindari sehingga anak
tumbuh dan berkembang secara tidak sehat.
i. Kekerasan Ekonomi. Kekerasan ekonomi paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar bebas dan bukannya pasar adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.
j. Kekerasan Lingkungan Hidup. Sebuah sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan manusia itu sendiri.
4) Resolusi konflik.
Lebih mudah untuk menawarkan resolusi konflik jika terlebih dahulu kita mengetahui jenis kekerasan apa yang terjadi , Kekerasan langsung, tidak langsung atau kekerasan budaya. Jika jenis kekerasan yang terjadi adalah kekerasan langsung maka yang paling tepat adalah dengan menggunakan kakuatan diluar kedua belah pihak yang berkonflik dan tentu harus lebih kuat. Jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan tidak langsung maka yang paling tepat di gunakan adalah memutuskan mata rantai yang menyebabkan terus menerusnya kelangsungan hidup kekerasan structural tersebut dengan cara memberikan pengetahuan kepada generasi selanjutnya bahwa kekerasan itu harus di hentikan dan menyediakan mediator yang telah di setujui oleh kedua belah fihak, serta menjalin, dan menjaga komunikasi yang baik dan seimbang. Sehingga yang menjadi inti dari struktur itu adalah pengertian tentang nilai nilai positif yang akan berujung pada berhentinya kekerasan struktural tersebut yang
mengarah pada gerakan massif.
Mengembangkan Budaya Non-Violence dan Budaya Kasih.
Konflik dan kekerasan yang sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan.
Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika konflik dan kekerasan sudah terjadi.
• Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih sebelum Terjadi Konflik dan Kekerasan
Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan tertentu. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan beberapa hal.
- Dialog dan komunikasi.
- Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum.
• Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan
Usaha untuk membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau managemen konflik dan kekerasan”. Ada tahapan langkah yang dapat dilakukan
- Langkah Pertama; konflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau interpersolnal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali.
- Langkah Kedua; Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau kelompok yang melakukan kekerasan atau menjadi penyebab konflik dan kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara publik dan terbuka, sebuah pengakuan jujur tanpa mekanisme bela diri.
- Langkah Ketiga; Pengampunan dari korban kepada yang melakukan kekerasan.
- Langkah Keempat; Rekonsiliasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak tanpa keluar dari konteks pembahasan...